Saturday, October 31, 2009

DIALOG..


Salah seorang sahabat, Anas bin Malik r.a. berkata: "Iblis laknat telah bertanya kepada Allah s.w.t. antaranya ialah:-

Kata Iblis kepada Allah s.w.t.: "Ya Tuhanku, Engkau telah memberikan kepada anak Adam itu tempat kediaman yakni rumah untuk berzikir kepadaMu. Tunjukkanlah kepadaku tempat kediamanku."

Firman Allah s.w.t. yang bermaksud: "Wahai Iblis tempat kediamanmu ialah di dalam bilik air (tandas)."

Iblis berkata: "Ya Tuhanku, Engkau telah memberikan kepada anak Adam itu tempat mereka berkumpul (mesjid, surau). Di manakah tempat bagiku berkumpul?"

Firman Allah s.w.t. yang bermaksud: "Wahai Iblis tempat untuk kamu berkumpul ialah di pasar-pasar (di pusat-pusat membeli belah, pesta-pesta, kelab-kelab malam, majlis-majlis maksiat, tempat hiburan dan sebagainya)."

Iblis berkata lagi: "Ya Tuhanku, Engkau telah memberikan kepada anak Adam itu kitab untuk mereka membaca (Al-Quran). Tunjukkanlah kepadaku apakah bahan bacaanku?"

Firman Allah s.w.t. yang bermaksud: "Wahai Iblis, bahan bacaanmu ialah Syair (sajak dan yang bersangkutan dengannya)."

Kata Iblis: "Ya Tuhanku, Engkau telah berikan kepada mereka cerita-cerita (kata-kata benar), apakah cerita-cerita bagiku?"

Firman Allah s.w.t.: "Wahai Iblis, cerita bagimu ialah kata-kata dusta (bohong dan yang bersangkutan denganya)."

Kata Iblis: "Ya Tuhanku, Engkau telah memberikan azan kepada anak Adam untuk mereka mengajak orang datang (mengumpulkan orang untuk sembahyang berjamaah). Apakah azanku (untuk mengumpulkan orang)."

Firman Allah s.w.t.: "Wahai Iblis, azan untukmu ialah seruling(muzik)."

Kata Iblis: "Ya Tuhanku, Engkau telah mengutus para utusanmu (para nabi dan para Rasul) kepada anak-anak Adam. Siapakah yang akan menjadi utusan bagiku."

Firman Allah s.w.t.: "Wahai Iblis, para utusanmu ialah dari dukun (dan yang lebih kurang sama dengannya)."

Kata Iblis: "Ya Tuhanku, Engkau telah memberikan kitab bertulis (ayat-ayat Al-Quran) kepada anak-anak Adam. Apakah tulisan bagiku?"

Firman Allah s.w.t.: "Wahai Iblis, tulisanmu ialah tulisan gincu yang palsu di badan (seperti lukisan-lukisan dilengan, tahi lalat yang diada-adakan dan yang lebih kurang sama dengannya)."

Kata Iblis: "Ya Tuhanku, Engkau telah memberikan kepada anak-anak Adam itu perangkap-perangkap. Apakah perangkap bagiku."

Firman Allah s.w.t.: "Wahai Iblis, perangkap untukmu ialah wanita-wanita."

Kata Iblis: "Ya Tuhanku, Engkau telah memberikan makanan (yang disebutkan dengan namaMu) kepada anak-anak Adam. Apakah makanan bagiku?"

Firman Allah s.w.t.: "Wahai Iblis, makanan untukmu ialah sesuatu yang tidak disebut nama Allah."

Kata Iblis: "Ya Tuhanku, Engkau telah berikan minuman (minuman yang halal dan yang sentiasa dimulakan dengan bismillah) kepada anak-anak Adam. Apakah minuman bagiku?"

Firman Allah s.w.t.: "Wahai Iblis, minuman untukmu ialah sesuatu yang memabukkan (seperti arak, yang lebih kurang sama dengannya dan minuman yang tidak dimulakan dengan bismillah)."

Ibnu Mas'ud r.a. berkata: "Kalau seseorang itu makan dengan tidak membaca bismillah, maka syaitan akan makan bersamanya. Apabila seseorang itu makan dan dimulai dengan bismillah maka syaitan tidak akan dapat makan bersama bahkan syaitan akan memuntahkan kembali apa-apa yang sudah dimakannya."

Ibrahim Annakhaai berkata: "Kalau seseorang itu masuk ke rumahnya dan memberi salam, maka syaitan akan berkata: "Tidak ada tempat bagiku di sini." Dan kalau seseorang itu hendak makan atau minum lalu dimulai dengan bismillah maka syaitan akan berkata: "Tidak ada tempat dan tidak ada makanan dan minuman untukku di sini." Akan keluarlah syaitan dengan rasa kecewa."

Friday, October 30, 2009

QURBAN DI ACEH


Dengan tema ‘ Berat Mata Memandang, Berat Lagi Bahu Memikul’ Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia Indonesia Cawangan Aceh ( PKPMI-CA ) 2009 / 2010 telah merangka sebuah program ibadah Qurban di bumi Aceh Darussalam. Maklumat mengenai program tersebut adalah seperti berikut :
Tarikh : 27 Nov 2009 / 10 Zulhijjah 1430.

Anjuran : Panitia pelaksana dan seluruh ahli PKPMI-CA.

Sasaran : Mangsa Tsunami (26 Dis 2004) dan konflik, masyarakat sekitar Darussalam ( sekitar kampus IAIN Ar-Raniry dan mahasiswa Malaysia di IAIN Ar-Raniry.

Jumlah : Sekitar 1200 orang.

Objektif :

#Berkongsi rasa dan kedukaan bersama mangsa korban Tsunami dan konflik.

#Berkongsi kegembiraan dan kasih dengan saudara seiman di Aceh

#Membantu penyaluran haiwan Qurban dari kaum Muslimin.

#Merapatkan silaturrahim dengan seluruh mahasiswa Malaysia di perantauan.


Dana yang diperlukan : RM 10, 460.00.

Catatan : Kadar tukaran wang terkini RM 1.00 = Rp 2750.

Sumbangan anda boleh disalurkan ke : 033 – 133711 – 025 ( HSBC ) atas nama Mohamad Azzar bin Ismail.

Jika ada yang ingin menyertai bahagian dari korban ini, sila hubungi YDP PKPMI-CA, Mohamad Azzar ( +6287890305903 ) atau Pengarah Program, Ikram ( +6281919792886 ) atau wakil kami di Malaysia : Anuar ( +60139694922 ).

Bagi sahabat-sahabat Mahasiswa Malaysia di IAIN Ar-Raniry yang ingin menyalurkan sumbangan, boleh disampaikan kepada Al-Akh Muhammad Fadhlullah ( KD Sumbangan dan Infaq ) bagi Muslimin atau Al-Ukht Aisyah bt Nordin ( Tim.KD Sumbangan dan Infaq ) bagi Muslimat atau terus kepada Al-Akh Mohd Ikram bin Ramli ( Pengarah ) atau Al-Ukht Roslina bt Mohamad ( Tim.Pengarah ).

Monday, October 26, 2009

Hidayah Membuka Tabir Kelalaian


Kaset itu berputar cepat. Aku mengikuti doa imam dengan penuh perhatian dan kecermatan. Aku mengulangi doa itu untuk kesekian kalinya. Sekali lagi, dan sekali lagi. Setiap doa yang diucapkannya .. Segala yang diucapkan dan menjadi doanya adalah benar adanya. Hidup kita memang akan berakhir .... Kita akan dimandikan, dikafani, kemudian diletakkan di liang lahat, di dalam tanah. Nama kita akan segera terlupa¬kan .

Namun suara yang diiringi dengan kekhusyuan itu membuatku terdiam sesaat. .. Aku memutar kembali kaset itu untuk ketiga kalinya ..

Saudariku adalah profil seorang wanita da'i yang bersungguh-sungguh. Ia telah berusaha mengubah diriku menjadi orang yang selalu memelihara shalat, untuk selalu berbuat taat. Ia berusaha semaksimal mungkin, melalui kata-kata, melalui kaset dan melalui buku-buku.

Suatu hari, ketika dia sedang mengendarai mobil bersamaku, kami terlibat pembicaraan. Ketika kami hendak turun, saudariku itu meletakkan kaset ini ke dalam Tape Recorder.

Keesokan harinya, aku keluar rumah dengan santai, tanpa perasaan apa-apa. Dengan sembarangan aku menekan tombol tape, tanpa ingat kaset apa yang terdapat di dalamnya. Seperti biasanya, aku membayangkan suara lagu yang aku sukai. Akan tetapi sudah menjadi takdir Allah, yang ada dalam tape itu ternyata adalah kaset tersebut. Aku mendengarkannya pada pagi hari, lalu kuulangi lagi pada sore harinya, dan juga sesudah Isya'.

Aku bertanya: "Kaset apa yang engkau letakkan di sini?"
Saudariku balik bertanya: "Apakah engkau tertarik?" "Tentu saja." Jawabku. Tak seperti biasanya, ia menyambut ucapanku dengan suka cita. Ia tampak begitu gembira. Di tangannya terdapat buku, lalu diletakkan di sampingnya. Ia kembali mengulangi pertanyaannya: "Apakah engkau betul-betul tertarik dengan suara dan bacaan imam itu?" "Sungguh, aku tertarik." Jawabku lagi.

Jawabanku itu menjadi pembuka percakapan kami yang panjang. Perbincangan semacam itu berulang beberapa kali. Namun kali ini, sungguh jauh berbeda. Di akhir perbincangan, saudariku berkata:

"Saya akan bacakan kepadamu yang baru saja kubaca: "Suatu hari, Hasan Al-Bashri lewat di hadapan seorang pemuda yang tenggelam dalam tawanya, ketika ia duduk bersama teman-temannya. Hasan berkata kepadanya: "Wahai pemuda! Pernahkah engkau melewati Ash-Shiraat?" Sang pemuda menjawab: "Belum." Beliau bertanya lagi: "Apakah engkau tahu, sedang berjalan menuju Surga atau Neraka?" "Tidak." Jawab pemuda itu lagi. "Lalu apa arti tawamu itu?" Tanya beliau lagi.

Sejenak kami terdiam. Kemudian saudariku itu menengok ke arahku, seraya berkata: "Sampai kapankah kelalaian ini akan terus berlangsung?"

Thursday, October 22, 2009

AHMAD IZZAH

Suatu sore, ditahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ terasa hening mencengkam. Jendral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

Setiap sipir penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu 'jenggel' milik tuan Roberto yang fanatik Kristen itu akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci. "Hai...hentikan suara jelekmu! Hentikan...!" Teriak Roberto sekeras-kerannya sembari membelalakan mata. Namun apa yang terjadi? Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang. Dengan congak ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.

Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata Rabbi, wa ana 'abduka... Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai ustadz...InsyaALlah tempatmu di Syurga." Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak amarahnya. Ia diperintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai. "Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu!

Ketahuilah orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapak kami, Tuhan Yesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang seharusnya tak pernah terdengar lagi di sini. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan masuk agama kami." Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan tajam dan dingin. Ia lalu berucap, "Sungguh...aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, ALlah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."

Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah. Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.

"Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!" bentak Roberto. "Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!"ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah lemah.

Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.

Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh. Mendadak algojo itu termenung. "Ah...sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini." suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu.
Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Sepanyol.

Akhirnya Roberto duduk disamping sang ustadz yang telah melepas nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.

Seorang bocah laki-laki mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Bocah mmungil itu mencucurkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ummi yang tak sudah bernyawa, sembari menggayuti abuyanya.

Sang bocah berkata dengan suara parau, "Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa....? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi..."

Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya bocaah itu berteriak memanggil bapaknya, "Abi...Abi...Abi..." Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

"Hai...siapa kamu?!" teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi..." jawab sang bocah memohon belas kasih. "Hah...siapa namamu bocah, coba ulangi!" bentak salah seorang dari mereka.

"Saya Ahmad Izzah..." sang bocah kembali menjawab dengan agak grogi. Tiba-tiba "plak! sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah. "Hai bocah...! Wajahmu bagus tapi namamu jelek. Aku benci namamu.

Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus. Namamu sekarang 'Adolf Roberto'...Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu.

Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata. Anak laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.

Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, "Abi...Abi...Abi..."

Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusar.

Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tha..." Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya.
Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyeksanya habis-habisan kini tengah memeluknya. "Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu..." Terdengar suara Roberto memelas.

Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, ditempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran ALlah.

Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap. "Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu,"

Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah "Asyahadu anla Illaaha ilALlah, wa asyahadu anna Muhammad Rasullullah...'. Beliau pergi dengan menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.

Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, 'Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru berguru dengannya..." Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.

Benarlah firman ALlah...
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama ALlah, tetaplah atas fitrah ALlah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah ALlah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS>30:30)

Sunday, October 18, 2009

ANDAIKATA LEBIH ... LAGI

Seperti yang telah biasa dilakukannya ketika salah satu sahabatnya meninggal dunia Rosulullah saw mengantar jenazahnya sampai ke kuburan. Dan pada saat pulangnya disempatkannya singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga almarhum supaya tetap bersabar dan tawakal menerima musibah itu.Kemudian Rosulullah berkata,"tidakkah almarhum mengucapkan wasiat sebelum wafatnya?" Istrinya menjawab, saya mendengar dia mengatakan sesuatu diantara dengkur nafasnya yang tersengal-sengal menjelang ajal"

"Apa yang di katakannya?"
"saya tidak tahu, ya Rosulullah, apakah ucapannya itu sekedar rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih karena dasyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami lantaran merupakan kalimat yang terpotong-potong."
"Bagaimana bunyinya?" desak Rosulullah.
Istri yang setia itu menjawab,"suami saya mengatakan "Andaikata lebih panjang lagi....andaikata yang masih baru....andaikata semuanya...." hanya itulah yang tertangkap sehingga kami bingung dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu igauan dalam keadaan tidak sadar,ataukah pesan-pesan yang tidak selesai?"

Rosulullah tersenyum."sungguh yang diucapkan suamimu itu tidak keliru,"ujarnya.
Kisahnya begini. pada suatu hari ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan shalat jum'at. Ditengah jalan ia berjumpa dengan orang buta yang bertujuan sama. Si buta itu tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntun. Maka suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas penghabisan, ia menyaksikan pahala amal sholehnya itu, lalu iapun berkata "andaikan lebih panjang lagi".Maksudnya, andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, pasti pahalanya lebih besar pula.

Ucapan lainnya ya Rosulullah?"tanya sang istri mulai tertarik.
Nabi menjawab,"adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala, ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi, sedangkan cuaca dingin sekali, di tepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan. Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia mencopot mantelnya yang lama, diberikannya kepada lelaki tersebut. Dan mantelnya yang baru lalu dikenakannya. Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan berkata, "Coba andaikan yang masih baru yang kuberikan kepadanya dan bukan mantelku yang lama, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi".Itulah yang dikatakan suamimu selengkapnya.

Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya, ya Rosulullah?" tanya sang istri makin ingin tahu. Dengan sabar Nabi menjelaskan,"ingatkah kamu pada suatu ketika suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Engkau menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur dengan daging. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba-tiba seorang musyafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong, yang sebelah diberikan kepada musyafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalannya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata ' kalau aku tahu begini hasilnya, musyafir itu tidak hanya kuberi separoh. Sebab andaikata semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti ganjaranku akan berlipat ganda.

Memang begitulah keadilan Tuhan. Pada hakekatnya, apabila kita berbuat baik, sebetulnya kita juga yang beruntung, bukan orang lain. Lantaran segala tindak-tanduk kita tidak lepas dari penilaian Allah. Sama halnya jika kita berbuat buruk. Akibatnya juga akan menimpa kita sendiri.Karena itu Allah mengingatkan: "kalau kamu berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Danjika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula."(surat Al Isra':7)

Sunday, October 4, 2009

HADIAH UNTUK ALLAH..

Abu Qudamah dahulu dikenal sebagai orang yang hatinya dipenuhi kecintaan akan jihad fi sabilillah. Tidak pernah dia mendengar akan jihad fi sabilillah, atau adanya perang antara kaum muslimin dengan orang kafir, kecuali dia selalu ikut serta bertempur di pihak kaum muslimin.


Suatu ketika saat ia sedang duduk-duduk di Masjidil Haram, ada seseorang yang menghampirinya seraya berkata: "Hai Abu Qudamah, anda adalah orang yang gemar berjihad di jalan Allah, maka ceritakanlah peristiwa paling ajaib yang pernah kau alami dalam berjihad."

"Baiklah, aku akan menceritakannya bagi kalian," kata Abu Qudamah.

"Suatu ketika aku berangkat bersama beberapa sahabatku untuk memerangi kaum Salibis di beberapa pos penjagaan dekat perbatasan. Dalam perjalanan itu aku melalui kota Raqqah (sebuah kota di Irak, dekat sungai Eufrat). Di sana aku membeli seekor unta yang akan kugunakan untuk membawa persenjataanku. Di samping itu aku mengajak warga kota lewat masjid-masjid, untuk ikut serta dalam jihad dan berinfak fi sabilillah.

Menjelang malam harinya, ada orang yang mengetuk pintu. Tatkala kubukakan, ternyata ada seorang wanita yang menutupi wajahnya dengan gaunnya.

"Apa yang anda inginkan?" tanyaku.
"Andakah yang bernama Abu Qudamah?" katanya balik bertanya.
"Benar," jawabku.

"Andakah yang hari ini mengumpulkan dana untuk membantu jihad di perbatasan?" tanyanya kembali.
"Ya, benar," jawabku.

Maka wanita itu menyerahkan secarik kertas dan sebuah bungkusan terikat, kemudian berpaling sambil menangis.
Pada kertas itu tertulis, "Anda mengajak kami untuk ikut berjihad, namun aku tidak sanggup untuk itu. Maka kupotong dua buah kuncir kesayanganku1­­ agar Anda jadikan sebagai tali kuda Anda. Kuharap bila Allah melihatnya pada kuda Anda dalam jihad, Dia mengampuni dosaku karenanya."

"Demi Allah, aku kagum atas semangat dan kegigihannya untuk ikut berjihad, demikian pula dengan kerinduannya untuk mendapat ampunan Allah dan Surga-Nya," kata Abu Qudamah.

Keesokan harinya, aku bersama sahabatku beranjak meninggalkan Raqqah. Tatkala kami tiba di benteng Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seseorang penunggang kuda yang memanggil-manggil,

"Hai Abu Qudamah.. Hai Abu Qudamah.. tunggulah sebentar, semoga Allah merahmatimu," teriak orang itu.

"Kalian berangkat saja duluan, biar aku yang mencari tahu tentang orang ini," perintahku kepada para sahabatku.

Ketika aku hendak menyapanya, orang itu mendahuluiku dan mengatakan, "Segala puji bagi Allah yang mengizinkanku untuk ikut bersamamu, dan tidak menolak keikutsertaanku."

"Apa yang kau inginkan?" tanyaku.
"Aku ingin ikut bersamamu memerangi orang-orang kafir," jawabnya.

"Perlihatkan wajahmu, aku ingin lihat, kalau engkau memang cukup dewasa dan wajib berjihad, akan aku terima. Namun jika masih kecil dan tidak wajib berjihad, terpaksa kutolak." kataku.
Ketika ia menyingkap wajahnya, tampaklah olehku wajah yang putih bersinar bak bulan purnama. Ternyata ia masih muda belia, dan umurnya baru 17 tahun.

"Wahai anakku, apakah kamu memiliki ayah?" tanyaku.
"Ayah terbunuh di tangan kaum Salibis dan aku ingin ikut bersamamu untuk memerangi orang-orang yang membunuh ayahku," jawabnya.

Bagaimana dengan ibumu, masih hidupkah dia?" tanyaku lagi.
"Ya," jawabnya.
"Kembalilah ke ibumu dan rawatlah ia baik-baik, karena surga ada di bawah telapak kakinya," pintaku kepadanya.

"Kau tidak kenal ibuku?" tanyanya
"Tidak," jawabku.
"Ibuku ialah pemilik titipan itu," katanya.
"Titipan yang mana," tanyaku

"Dialah yang menitipkan tali kuda itu," jawabnya.
"Tali kuda yang mana?" tanyaku keheranan.

"Subhanallah..!! Alangkah pelupanya Anda ini, tidak ingatkah Anda dengan wanita yang datang tadi malam menyerahkan seutas tali kuda dan bingkisan?"
"Ya , aku ingat," jawabku.

"Dialah ibuku! Dia menyuruhku untuk berjihad bersamamu dan mengambil sumpah dariku supaya aku tidak kembali lagi," katanya.
"Ibuku berkata, "Wahai anakku, jika kamu telah berhadapan dengan musuh, maka janganlah kamu melarikan diri. Persembahkanlah jiwamu untuk Allah. Mintalah kedudukan di sisi-Nya, dan mintalah agar engkau ditempatkan bersama ayah dan paman-pamanmu di Jannah. Jika Allah mengaruniaimu mati syahid, maka mintalah syafa'at bagiku."

Kemudian ibu memelukku, lalu menengadahkan kepalanya ke langit seraya berkata, "Ya Allah.. ya Ilahi.. inilah puteraku, buah hati dan belahan jiwaku, kupersembahkan dia untukmu, maka dekatkanlah dia dengan ayahnya."
"Aku benar-benar takjub dengan anak ini," kata Abu Qudamah, lalu anak itupun segera menyela,
"Karenanya, kumohon atas nama Allah, janganlah engkau halangi aku untuk berjihad bersamamu. InsyaaAllah akulah asy-syahid putra asy-syahid. Aku telah hafal al-Qur'an. Aku juga jago menunggang kuda dan memanah. Maka janganlah meremehkanku hanya karena usiaku yang masih belia," kata anak itu memelas.

Setelah mendengar uraiannya aku tidak kuasa melarangnya, maka kusertakanlah ia bersamaku.

Demi Allah, ternyata tidak pernah kulihat orang yang lebih cekatan darinya. Ketika pasukan bergerak, dialah yang tercepat ketika kami singgah untuk beristirahat, dialah yang paling sibuk mengurus kami, sedang lisannya tidak pernah berhenti dari dzikrullah sama sekali.

Kemudian kamipun singgah di suatu tempat dekat pos perbatasan. Saat itu matahari hampir tenggelam dan kami dalam keadaan berpuasa. Maka ketika kami hendak menyiapkan hidangan untuk berbuka dan makan malam, bocah itu bersumpah atas nama Allah bahwa ialah yang akan menyiapkannya. Tentu saja kami melarangnya karena ia baru saja kecapaian selama perjalanan panjang tadi.

Akan tetapi bocah itu bersikeras untuk menyiapkan hidangan bagi kami. Maka ketika kami beristirahat di suatu tempat, kami katakan kepadanya, "Menjauhlah sedikit agar asap kayu bakarmu tidak mengganggu kami."

Maka bocah itupun mengambil tempat yang agak jauh dari kami untuk memasak. Akan tetapi bocah itu tidak kunjung tiba. Mereka merasa bahwa ia agak terlambat menyiapkan hidangan mereka.

"Hai Abu Qudamah, temuilah bocah itu. Ia sudah terlalu lama memasak. Ada apa dengannya?" pinta seseorang kepadaku. Lalu aku bergegas menemuinya, maka kudapati bocah itu telah menyalakan api unggun dan memasak sesuatu di atasnya. Tapi karena terlalu lelah, iapun tertidur sambil menyandarkan kepalanya pada sebuah batu.

Melihat kondisinya yang seperti itu, sungguh demi Allah aku tidak sampai hati mengganggu tidurnya, namun aku juga tidak mungkin kembali kepada sahabat-sahabatku dengan tangan hampa, karena sampai sekarang kami belum menyantap apa-apa.

Akhirnya kuputuskan untuk menyiapkan makanan itu sendiri. Akupun mulai meramu masakannya, dan sambil menyiapkan masakan, sesekali aku melirik bocah itu. Suatu ketika terlihat olehku bahwa bocah itu tersenyum. Lalu perlahan senyumnya makin melebar dan mulailah ia tertawa kegirangan.

Aku merasa takjub melihat tingkahnya tadi, kemudian ia tersentak dari mimpinya dan terbangun.
Ketika melihatku menyiapkan masakan sendirian, ia nampak gugup dan buru-buru mengatakan, "Paman, maafkan aku, nampaknya aku terlambat menyiapkan makanan bagi kalian."

"Ah tidak, kamu tidak terlambat kok," jawabku.
"Sudah, tinggalkan saja masakan ini, biar aku yang menyiapkannya, aku adalah pelayan kalian selama jihad," kata bocah itu.

"Tidak," sahutku, "Demi Allah, engkau tidak kuizinkan menyiapkan apa-apa bagi kami sampai engkau menceritakan kepadaku apa yang membuatmu tertawa sewaktu tidur tadi? Keadaanmu sungguh mengherankan," lanjutku.
"Paman, itu sekedar mimpi yang kulihat sewaktu tidur," kata si bocah.
"Mimpi apa yang engkau lihat?" tanyaku.

"Sudahlah, tidak usah bertanya tentangnya. Ini masalah pribadi antara aku dengan Allah," sahut bocah itu.
"Tidak bisa "Mimpi apa yang engkau lihat?" tanyaku.

"Sudahlah, tidak usah bertanya tentangnya. Ini masalah pribadi antara aku dengan Allah," sahut bocah itu.
"Tidak bisa, kumohon atas nama Allah agar kamu menceritakannya," kataku.

"Paman, dalam mimpi tadi aku melihat seakan aku berada di Jannah, kudapati Jannah itu dalam segala keindahan dan keanggunannya, sebagaimana yang Allah ceritakan dalam al-Qur'an.

Ketika aku jalan-jalan di dalamnya dengan terkagum-kagum, tiba-tiba tampaklah olehku sebuah istana megah yang berkilauan, dindingnya dari emas dan perak, terasnya dari mutiara dan batu permata, dan gerbangnya dari emas.

Di teras itu ada kerai-kerai yang terjuntai, lalu perlahan kerai itu tersingkap dan tampaklah gadis-gadis belia nan cantik jelita, wajah mereka bersinar bak rembulan."

Kutatap wajah-wajah cantik itu dengan penuh kekaguman, sungguh, kecantikan yang luar biasa, gumamku, lalu muncullah seorang gadis lain yang lebih cantik dari mereka, dengan telunjuknya ia memberi isyarat kepada gadis yang ada di sampingnya seraya mengatakan, "Inilah (calon) suami al-Mardhiyyah.. ya, dialah calon suaminya.. benar, dialah orangnya!"

Aku tidak paham siapa itu al-Mardhiyyah, maka aku bertanya kepadanya, "Kamukah al-Mardhiyyah..?"
"Aku hanyalah satu di antara dayang-dayang al-Mardhiyyah.." katanya. "Anda ingin bertemu dengan al-Mardhiyyah..?" tanya gadis itu.
"Kemarilah.. masuklah ke sini, semoga Allah merahmatimu," serunya.

Tiba-tiba kulihat diatasnya ada sebuah kamar dari emas merah.. dalam kamar itu ada dipan yang bertahtakan permata hijau dan kaki-kakinya terbuat dari perak putih yang berkilauan.
Dan di atasnya.. seorang gadis belia dengan wajah bersinar laksana surya!! Kalaulah Allah tidak memantapkan hati dan penglihatanku, niscaya butalah mataku dan hilanglah akalku karena tidak kuasa menatap kecantikannya..!!!
Tatkala ia menatapku, ia menyambutku seraya berkata, "Selamat datang, hai Wali Allah dan Kekasih-Nya. Aku diciptakan untukmu, dan engkau adalah milikku."

Mendengar suara merdu itu, aku berusaha mendekatinya dan menyentuhnya.. namun sebelum tanganku sampai kepadanya, ia berkata, "Wahai kekasihku dan tambatan hatiku.. semoga Allah menjauhkanmu dari segala kekejian.. urusanmu di dunia masih tersisa sedikit.. InsyaaAllah besok kita akan bertemu selepas Ashar."
Akupun tersenyum dan senang mendengarnya."

Abu Qudamah melanjutkan, "Usai mendengar cerita si bocah yang indah tadi, aku berkata kepadanya, "InsyaaAllah mimpimu merupakan pertanda baik."

Lalu kamipun menyantap hidangan tadi bersama-sama, kemudian meneruskan perjalanan kami menuju pos perbatasan.

Setibanya di pos perbatasan kami menurunkan semua muatan dan bermalam di sana. Keesokan harinya setelah menunaikan shalat fajar, kita bergerak ke medan pertempuran untuk menghadapi musuh.

Sang komandan bangkit untuk mengatur barisan. Ia membaca permulaan Surat al-Anfaal. Ia mengingatkan kami akan besarnya pahala jihad fi sabilillah dan mati syahid, sambil terus mengobarkan semangat jihad kaum muslimin.

Abu Qudamah menceritakan, "Tatkala kuperhatikan orang-orang di sekitarku, kudapati masing-masing dari mereka mengumpulkan sanak kerabatnya di sekitarnya. Adapun si bocah, ia tidak punya ayah yang memanggilnya, atau paman yang mengajaknya, dan tidak pula saudara yang mendampinginya.

Akupun terus mengikuti dan memperhatikan gerak-geriknya, lalu terlihatlah olehku bahwa ia berada di barisan terdepan. Maka segeralah kukejar dia, kusibak barisan demi barisan hingga sampai kepadanya, kemudian aku berkata, "Wahai anakku, punyakah engkau pengalaman berperang..?"

"Tidak.. tidak pernah. Ini justru pertempuranku yang pertama kali melawan orang kafir," jawab si bocah.

"Wahai anakku, sesungguhnya perkara ini tidak segampang yang engkau bayangkan, ini adalah peperangan. Sebuah pertumpahan darah di tengah gemerincingnya pedang, ringkikan kuda, dan hujan panah.

Wahai anakku, sebaiknya engkau ambil posisi di belakang saja. Jika kita menang engkaupun ikut menang, namun jika kita kalah engkau tidak menjadi korban pertama," pintaku kepadanya.

Lalu dengan tatapan penuh keheranan ia berkata," Paman, engkau berkata seperti itu kepadaku..!?"
"Ya, aku mengatakan seperti itu kepadamu," jawabku.

"Paman.. apa engkau menginginkanku jadi penghuni neraka..?" tanyanya.
"A'uudzubillaah!! Sungguh, bukan begitu.. kita semua tidak berada di medan jihad seperti ini kecuali karena lari dari neraka dan memburu surga," jawabku.

Lalu kata si bocah, "Sesungguhnya Allah berfirman,
"Hai orang-orang beriman, apabila kamu bertemu orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka(mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sesungguhnya orang itu kembali membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembvalinya itu."(QS. Al-Anfaal: 15-16)

"Adakah Paman menginginkan aku berpaling membelakangi mereka sehingga tempat kembaliku adalah neraka?" tanya si bocah.

Akupun heran dengan kegigihannya dan sikapnya yang memegang teguh ayat tersebut. Kemudian aku berusaha menjelaskan, "Wahai anakku, ayat itu maksudnya bukan seperti yang engkau katakan." Namun tetap saja ia bersikeras tidak mau pindah ke belakang. Akupun menarik tangannya secara paksa, membawa ke akhir barisan. Namun ia justru menarik lengannya kembali seakan ingin melepaskan diri dari genggamanku. Lalu perangpun dimulai dan aku terhalang oleh pasukan berkuda darinya.

Dalam kancah pertempuran itu terdengarlah derap kaki kuda, diiringi gemerincing pedang dan hujan panah, lalu mulailah kepala-kepala berjatuhan satu-persatu. Bau anyir darah tercium di mana-mana. Tangan dan kaki bergelimpangan. Dan tubuh-tubuh tidak bernyawa tergeletak bersimbah darah.

Demi Allah, perang itu telah menyibukkan tiap orang akan dirinya sendiri dan melalaikan orang lain. Sabetan dan kilatan pedang di atas kepala yang tidak henti-hentinya, menjadikan suhu memuncak, seakan-akan ada tungku tanur yang menyala di atas kami.

Perangpun makin memuncak, kedua pasukan bertempur habis-habisan sampai matahari tergelincir dan masuk waktu zhuhur. Ketika itulah Allah berkenan menganugerahkan kemenangan bagi kaum muslimin, dan pasukan Salib lari tunggang-langgang.

Setelah mereka terpukul mundur, aku berkumpul bersama beberapa orang sahabatku untuk menunaikan shalat zhuhur. Selepas shalat, mulailah masing-masing dari kita mencari sanak keluarganya di antara para korban.

Sedangkan si bocah.. maka tidak seorangpun yang mencarinya atau menanyakan kabarnya. Maka kukatakan dalam hati, "Aku harus mencarinya dan menyelidiki keadaannya, barangkali ia terbunuh, terluka atau jatuh dalam tawanan musuh?"

Akupun mulai mencarinya di tengah para korban, aku menoleh ke kanan dan kiri kalau-kalau ia terlihat olehku. Di saat itulah aku mendengar ada suara lirih di belakangku yang mengatakan, "Saudara-saudara.. tolong panggilkan pamanku Abu Qudamah kemari.. panggilkan Abu Qudamah kemari."

Aku menoleh kearah suara tadi, ternyata tubuh itu ialah tubuh si bocah dan ternyata puluhan tombak telah menusuk tubuhnya. Ia babak belur terinjak pasukan berkuda. Dari mulutnya keluar darah segar. Dagingnya tercabik-cabik dan tulangnya remuk total.

Ia tergeletak seorang diri di tengah padang pasir. Maka aku segera bersimpuh di hadapannya dan berteriak sekuat tenagaku, "Akulah Abu Qudamah..!! Aku ada di sampingmu..!!"

"Segala puji bagi Allah yang masih menghidupkanku hingga aku dapat berwasiat kepadamu.. maka dengarlah baik-baik wasiatku ini.." kata si bocah.

Abu Qudamah mengatakan, sungguh demi Allah, tidak kuasa menahan tangisku. Aku teringat akan segala kebaikannya, sekaligus sedih akan ibunya yang tinggal di Raqqah. Tahun lalu ia dikejutkan dengan kematian suami dan saudara-saudaranya, lalu sekarang dikejutkan dengan kematian anaknya.

Aku menyingsingkan sebagian kainku lalu mengusap darah yang menutupi wajah polos itu. Ketika ia merasakan sentuhanku ia berkata, "Paman.. usaplah darahku dengan pakaianku, dan jangan engkau usap dengan pakaianmu."

Demi Allah, aku tidak kuasa menahan tangisku dan tidak tahu harus berkata apa. Sesaat kemudian, bocah itu berkata dengan suara lirih, "Paman.. berjanjilah bahwa sepeninggalku nanti engkau akan kembali ke Raqqah, dan memberi kabar gembira bagi ibuku bahwa Allah telah menerima hadiahnya, dan bahwa anaknya telah gugur di jalan Allah dalam keadaan maju dan pantang mundur. Sampaikan pula kepadanya jikalau Allah menakdirkanku sebagai syuhada, akan kusampaikan salamnya untuk ayah dan paman-pamanku di jannah.

Paman.. aku khawatir kalau nanti ibu tidak mempercayai ucapanmu. Maka ambillah pakaianku yang berlumuran darah ini, karena bila ibu melihatnya ia akan yakin bahwa aku telah terbunuh, dan insyaaAllah kami bertemu kembali di jannah.

Paman.. setibanya engkau di rumahku, akan engkau temui seorang gadis kecil berumur sembilan tahun. Ia adalah saudariku.. tidak pernah aku masuk rumah kecuali ia sambut dengan keceriaan, dan tidak pernah aku pergi kecuali diiringi isak tangis dan kesedihannya. Ia sedemikian kaget ketika mendengar kematian ayah tahun lalu, dan sekarang ia akan kaget mendengar kematianku.

Ketika melihatku mengenakan pakaian safar ia berkata dengan berat hati, "kak.. jangan engkau tinggalkan kami lama-lama.. segeralah pulang.. !!"

Paman.. jika engkau bertemu dengannya maka hiburlah hatinya dengan kata-kata yang manis. Katakan kepadanya bahwa kakakmu mengatakan, "Allah-lah yang akan menggantikanku mengurusmu."

Abu Qudamah melanjutkan, "Kemudian bocah itu berusaha menguatkan dirinya, namun nafasnya mulai sesak dan bicaranya tidak jelas. Ia berusaha kedua kalinya untuk menguatkan dirinya dan berkata,

"Paman.. demi Allah, mimpi itu benar.. mimpi itu sekarang menjadi kenyataan. Demi Allah, saat ini aku benar-benar sedang melihat al-Mardhiyyah dan mencium bau wanginya."

Lalu bocah itu mulai sekarat, dahinya berkeringat, nafasnya tersengal-sengal dan kemudian wafat di pangkuanku."

Abu Qudamah berkata, "Maka kulepaskan pakaiannya yang berlumuran darah, lalu kuletakkan dalam sebuah kantong, kemudian kukebumikan dia. Usai mengebumikannya, keinginan terbesarku ialah segera kembali ke Raqqah dan menyampaikan pesannya kepada ibunya.

Maka akupun kembali ke Raqqah. Aku tidak tahu siapa nama ibunya dan dimana rumah mereka.

Tatkala aku menyusuri jalan-jalan di Raqqah, terlihat olehku sebuah rumah. Di depan rumah itu ada gadis kecil berumur Sembilan tahun yang berdiri menunggu kedatangan seseorang. Ia melihat-lihat setiap orang yang berlalu di depannya. Tiap kali melihat orang yang baru datang dari bepergian ia bertanya, "Paman.. Anda datang dari mana?"

"Aku datang dari jihad," kata lelaki itu.
"Kalau begitu kakakku ada bersamamu..?" tanyanya.
"Aku tidak kenal, siapa kakakmu..?" kata lelaki itu sambil berlalu.

Lalu lewatlah orang kedua, dan tanyanya,
"Akhi, Anda datang dari mana?"
"Aku datang dari jihad," jawabnya.
"Kakakku ada bersamamu?" tanya gadis itu.
"Aku tidak kenal, siapa kakakmu..?" kata lelaki itu sambil berlalu.

Lalu lewatlah orang ketiga, keempat, dan demikian seterusnya. Lalu setelah putus asa menanyakan saudaranya, gadis itu menangis sambil tertunduk dan berkata, "Mengapa mereka semua kembali tetapi kakakku tidak kunjung kembali?"

Melihat ia seperti itu, akupun datang menghampirinya. Ketika ia melihat bekas-bekas safar padaku dan kantong yang kubawa, ia bertanya,
"Paman.. Anda datang dari mana?"
"Aku datang dari jihad," jawabku.
"Kalau begitu kakakku ada bersamamu?" tanyanya.

"Dimanakah ibumu?" tanyaku.
"Ibu ada di dalam rumah," jawabnya.
"Sampaikan kepadanya agar ia keluar menemuiku," perintahku kepadanya.

Ketika perempuan tua itu keluar, ia menemuiku dengan wajah tertutup gaunnya. Ketika aku mendengar suaranya dan ia mendengar suaraku, ia bertanya,
"Hai Abu Qudamah, engkau datang hendak berbela sungkawa atau memberi kabar gembira?"

Maka tanyaku, "Semoga Allah merahmatimu. Jelaskanlah kepadaku apa yang engkau maksud dengan bela sungkawa dan kabar gembira itu?"

"Jika engkau hendak mengatakan bahwa anakku telah gugur di jalan Allah, dalam keadaan maju dan pantang mundur berarti engkau datang membawa kabar gembira untukku, karena Allah telah menerima hadiahku yang telah kusiapkan untuk-Nya sejak tujuh belas tahun silam.

Namun jika engkau hendak mengatakan bahwa anakku kembali dengan selamat dan membawa ghanimah, berarti engkau datang untuk berbela sungkawa kepadaku, karena Allah belum berkenan menerima hadiah yang kupersembahkan untuk-Nya," jelas si perempuan tua.

Maka kataku, "Kalau begitu aku datang membawa kabar gembira untukmu. Sesungguhnya anakmu telah terbunuh fi sabilillah dalam keadaan maju dan pantang mundur. Ia bahkan masih menyisakan sedikit kebaikan, dan Allah berkenan untuk mengambil sebagian darahnya hingga ia ridha."

'Tidak!, kurasa engkau tidak berkata jujur," kata si ibu sambil melirik kepada kantong yang kubawa, sedang puterinya menatapku dengan seksama.

Maka kukeluarkanlah isi kantong tersebut, kutunjukkan kepadanya pakaian puteranya yang berlumuran darah. Nampak serpihan wajah anaknya berjatuhan dari kain itu, diikuti tetesan darah yang bercampur beberapa helai rambutnya.

"Bukankah ini adalah pakaiannya.. dan ini surbannya.. lalu ini gamisnya yang engkau kenakan kepada anakmu sewaktu berangkat berjihad..?" kataku.
"Allaahu Akbar..!!" teriak si ibu kegirangan.

Adapun gadis kecil tadi, ia justru berteriak histeris lalu jatuh terkulai tidak sadarkan diri. Tidak lama kemudian ia mulai merintih, "Aakh..! aakh..!"

Sang ibu merasa cemas, ia bergegas masuk kedalam mengambil air untuk puterinya, sedang aku duduk di samping kepalanya, mengguyurkan air kepadanya.

Demi Allah, ia tidak sedang merintih.. ia tidak sedang memanggil-manggil kakaknya. Akan tetapi ia sedang sekarat!! Nafasnya semakin berat.. dadanya kembang kempis.. Lalu perlahan rintihannya terhenti. Ya, gadis itu telah tiada.

Setelah puterinya tiada, ia mendekapnya lalu membawanya ke dalam rumah dan menutup pintu di hadapanku. Namun sayup-sayup terdengar suara dari dalam, "Ya Allah, aku telah merelakan kepergian suamiku, saudaraku, dan anakku di jalan-Mu. Ya Allah, kuharap Engkau meridhaiku dan mengumpulkanku bersama mereka di jannah-Mu."

Abu Qudamah berkata, "Maka kuketuk pintu rumahnya dengan harapan ia akan membukakan. Aku ingin memberinya sejumlah uang, atau menceritakan kepada orang-orang tentang kesabarannya sehingga kisahnya menjadi teladan. Akan tetapi sungguh, ia tidak membukakanku ataupun menjawab seruanku.

"Sungguh demi Allah, tidak pernah kualami kejadian yang lebih menakjubkan dari ini," kata Abu Qudamah mengakhiri kisahnya

P/S : Lihatlah, bagaimana si ibu mengorbankan segala yang ia miliki demi menggapai kebahagiaan ukhrawi. Ia perintahkan anaknya untuk berjihad fi sabilillah demi keridhaan Ilahi. Maka bagaimanakah nasib para pemalas seperti kita. Apa yang telah kita korbankan demi keridhaan-Nya?"