Tuesday, November 24, 2009

Andai para raja itu tahu kebahagiaan yang kami miliki...


“Andai para raja itu tahu kebahagiaan yang kami miliki, pastilah mereka rebut kebahagiaan kami itu dengan pedang-pedang mereka”

Saudaraku,
Kehidupan, tak ubahnya sebuah perjalanan. Ada asal, perlu perbekalan, ada terminal tempat istirahat, dan punya tujuan. Ilustrasi seperti itu disampaikan oleh Rasul saw kepada para sahabatnya. Rasul pernah menggambarkan hidup dunia, ka raakibin istadzalla bi syajaratin tsumma raahaa wa tarakaha. Seperti seorang mufasir yang bernaung di bawah rindangnya pohon, ia beristirahat tapi setelah itu ia tinggalkan pohon tersebut. Dan, kerananya, Rasul memberi panduan agar hidup ini disikapi dengan sesuatu yang sementara. Kun fi dunya ka annaka ghariibun au ’abiri sabiil, hiduplah engkau di dunia, seperti orang asing, atau orang yang dalam perjalanan. Orang asing selalu berhati-hati. Sebab, ia belum faham betul selok belok wilayah yang ia tempati. Hati-hati terhadap aral, waspada terhadap berbagai kemungkinan buruk. Sedangkan orang yang dalam perjalanan, akan berfikir bagaimana mencapai tujuan, bekal apa saja yang harus disertakan, dan yang pasti akan ada saat ia harus mengakhiri perjalanan itu.

Saudaraku,
Dalam perjalanan ini, peluang dan kesempatan kita sama. Allah telah memberikan kita petunjuk melalui al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya. Allah telah memberi kita kemampuan berfikir, dan memberi kita sejumlah kewajipan. Itulah bukti rahmat Allah swt. Setelah itu, kita semuanya, diberi pahala atas kebaikan yang dilakukan, dan hukuman dari segala keburukan. Kenyataan ini, menjadikan kita selalu berada dalam ujian Allah swt. Mungkin kita diuji dengan kesenangan, harta yang cukup, misalnya. Apakah kita mampu mengiringinya dengan syukur? Mungkin kita diuji melalui ragam kesulitan. Misalnya, kesulitan ekonomi dan setumpuk masalah keluarga. Apakah kita mampu bersabar? Jangan katakan, bahawa ujian dengan kesenangan itu lebih baik daripada ujian kesulitan. Kerana para sahabat dahulu justru menjauh dari hidup senang, lantaran khawatir fitnah kesenangan lebih mendorong mereka untuk lupa dan lalai terhadap kewajipan. Para sahabat bahkan justru tak ingin lepas dari ujian hidup. Seperti ungkapan doa Abdullah bin Mas’ud : “Janganlah kalian berdoa dengan mengatakan ‘Ya Allah aku berlindung kepadamu dari berbagai ujian hidup’ Kerana tak seorang pun dari kalian yang terhindar dari ujian. Allah sudah mengatakan, “Sesungguhnya harta dan anak kalian adalah fitnah (ujian)” maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari kesesatan dan bahaya fitnah.”

Saudaraku,
Perjalanan hidup kita yang panjang, penuh peluh dan ujian ini, harusnya tidak merubah senario perpindahan yang seharusnya kita lewati. Perpindahan dari kondisi yang buruk kepada kondisi yang lebih baik. Perpindahan dari jahiliah kepada Islam, dari kemaksiatan kepada ketaatan. Kemudian saling berlumba melakukan kebaikan, dan bargabung dalam sebuah parade pendakwah, meraih mardhatillah. Banyak perbekalan yang harus kita siapkan dalam menempuh perjalanan ini. Kita harus kenali siapa kawan dan siapa lawan. Kita harus tahu tabiat perjalanan. Kita harus faham ke arah mana yang paling tepat mencapai tujuan. Kita juga harus mengerti saranan mana yang paling baik, yang membawa kita kepada tujuan perjalanan. Dan kita harus saksama menangkap rambu-rambu yang ada, agar tidak tersesat di tengah jalan.

Allah swt Maha Rahmah, telah memberi sejumlah rambu perjalanan yang secara fitri kita semua dapat merasakannya. Rambu tersebut ibarat pagar yang akan membimbing dan memelihara kita untuk tetap berada di jalur kebenaran.

Pertama, rambu itu bernama ta’jilul ‘uqubah (percepatan hukuman). Allah akan memberi hukuman sebagai dampak atau akibat, langsung setelah kita melakukan kesalahan. Inilah salah satu bentuk kasih sayang Allah swt. Bila di antara kita melakukan kesalahan, dosa, atau kemaksiatan, biasanya Allah memberikan hukuman langsung agar kita sedar dan kembali kepada jalan yang benar. Fudhail bin Iyadh rahimahullah pernah mengatakan, “Banyak orang mempunyai mata, tapi pandangan hatinya redup. Banyak orang memiliki ketajaman lisan, tapi hatinya tidak bersinar. Banyak yang melakukan dosa dalam makanan, hingga ia terhalang melakukan solat malam, dan sulit mengecap kenikmatan dalam bermunajat kepada Allah.”

Hal ini pula yang dikatakannya suatu saat, “aku mengetahui kesalahan dan dosaku kepada Allah, melalui sikap isteri dan keluargaku, sikap kenderaanku, hingga sikap tikus-tikus di rumahku…” Subhanallah.

Saudaraku,
Itulah sebabnya, tak pernah ada seorang penzina merasa senang dan nikmat berkahwin dengan penzina. Seorang pencuri pun tak pernah merasa tenang menggunakan harta curiannya. Kerananya, kita harus sentiasa sensitif menangkap rambu ini. Boleh jadi, kebanyakan maksiat mata akan menjadikan kita tidak mendapatkan sikap isteri seperti yang diinginkan. Mungkin saja, kerana kita boros membelanjakan harta, hal ini akan menutup barakah harta yang sudah kita dapatkan. Boleh juga sikap kikir waktu untuk berjuang fi sabilillah semakin mendorong banyaknya tuntutan waktu untuk bekerja duniawi. Sementara di sisi lain, waktu untuk beribadah semakin berkurang hingga yang terasa hanyalah suasana hati yang semakin terhimpit.

Kondisi ini juga disebut dengan istilah ibratul utsrah yang ertinya peristiwa ketergelinciran yang boleh memberi kita pelajaran. Kesalahan yang kita lakukan, membuat kita tersedar. Ibaratnya seorang yang terpeleset atau tersandung kerana gopoh dalam berjalan, akan tersedar dan menoleh. Apa yang menyebabkan terpeleset atau tersandung? Setelah itu, ia akan lebih hati-hati berjalan.

Kedua, rambu itu bernama laddzatu tha’ah, kenikmatan dan kebahagiaan yang kita rasakan setelah berbuat ketaatan. Rasakanlah kenikmatan kala kita mampu bersabar menahan syahwat dan meninggalkan maksiat. Allah akan memberi balasan atas kesabaran itu dengan kenikmatan, rasa senang dan tenteram. Tidak saja di dunia, tapi juga kebahagiaan di hari akhir. Perhatikanlah, orang yang mengeluarkan hartanya di dunia untuk kepentingan dakwah. Harta yang diberikan mungkin tidak secara konkrit diganti Allah dengan harta serupa. Namun Allah berikan nikmat sihat pada keluarga, pada isteri, pada anak-anaknya. Dengan demikian Allah menyusupkan kebahagiaan tiada tara kepadanya. Ada pula orang yang kikir berinfaq, yang kerananya Allah memberinya bermacam penyakit hingga hartanya habis sedikit demi sedikit untuk mengubati sakitnya.

Pengorbanan waktu dan kesungguhan dalam berdakwah, kerap menumbuhkan kebahagiaan khas dalam hati seseorang serta rasa cinta sesama mereka. Tak jarang hal itu mampu menambah kekuatan fizikal dan keceriaan wajah. Orang lain pun bahkan ikut merasa nyaman bersama orang tersebut. Lebih jauh lagi, pengorbanan itu akan terbalas dengan rasa nikmat dan khusyuk hidup bersama barisan pendakwah. Semua itu tak mungkin dirasakan oleh mereka yang tenggelam dalam kemaksiatan, meski ia penuhi semua keperluan nafsu dengan limpahan harta.

Saudaraku,
Rahmat Allah adalah hak setiap kaum beriman. Inilah yang dikatakan para salafussalih: “Kasihan para mereka yang lalai, mereka keluar dari dunia, tapi tidak sempat merasakan sesuatu yang paling indah di dunia.” Tabi’in yang lain mengatakan, “Andai para raja itu tahu kebahagiaan yang kami miliki, pastilah mereka rebut kebahagiaan kami itu dengan pedang-pedang mereka”

No comments:

Post a Comment

salam